Dunia Dalam Berita adalah salah satu acara TVRI yang fenomenal di tahun 1980-an, di samping program-program lain seperti Aneka Ria Safari, Berpacu Dalam Melodi dan lainnya. Ini adalah acara yang mewartakan semua kejadian di seluruh dunia, termasuk olahraga dengan durasi 30 menit, dan tentu saja tanpa iklan. Di menit-menit terakhir juga disajikan perakiran cuaca di beberapa kota besar dunia.

Program ini pertama kali dimulai pada tahun 1974 dengan judul Berita Dunia TVRI merupakan ide Drs. H. Subrata, M.H yang memulai karir sebagai reporter sekaligus kameramen sejak tahun 1966 hingga diangkat menjadi Direktur Televisi pada tahun1980-1983. Ketika televisi swasta mulai bermunculan di Indonesia pemerintah lalu mewajibkan seluruh tv swasta tersebut untuk merelay Dunia Dalam Berita tersebut. Dan ketika pemerintahan Presiden Soeharto jatuh, seiring dengan era reformasi, maka tv swasta tak lagi merelay siaran berita tersebut dan memilih menyiarkan berita dari stasiunnya sendiri.

Selanjutnya TVRI masih tetap menyiarkan Dunia Dalam Berita meski tanpa di-rellay oleh tv swasta. Namun acara tersebut berakhir pada tanggal 31 Desember 2008 karena buruknya rating seiring dengan era keterbukaan, sehingga pemirsa lebih mempercayai informasi dari televisi swasta daripada siaran berita dari tv pemerintah, apalagi juga kemudian bermunculan tv swasta yang mengkhususkan pada acara news yang lebih up to date.

Beberapa pembaca berita yang menghiasi acara tersebut antara lain: Yasir Denhas, Anita Rachman, Yan Partawidjaja, Inke Maris, Poppy E.J.Tiendas, Max Sopacua, Usi Karundeng, Dana Iswara, Adolf Posumah, Ria Prihatini Moerdani. Begitu fenomenal acara tersebut bahkan Oetje F Tekol  menciptakan lagu dengan judul Dunia Dalam Berita yang dilantukan oleh Gito Rollies bersama The Rollies.

Pada dekade 80, hingar bingar musik Indonesia selain dipenuhi dengan lagu-lagu cengeng nan mendayu-dayu juga diwarnai dengan lagu-lagu berlirik jenaka. Tidak hanya liriknya, lagu-lagu tersebut juga ringan, gampang dicerna dan kadang agak norak.

Membicarakan lagu-lagu jenaka tahun 1980-an tak lengkap rasanya tanpa menyinggung Bill n Brod. Kelompok ini dianggotai oleh Arie Wibowo (vokal,gitar), Nyong Anggoman (keyboards), Kenny Damayanti (vokal), Wawan Konikos (vokal) dan Rully Bachrie (drums). Hits pertama group ini adalah Madu dan Racun yang pada tahun 1985 terjual lebih dari 1 juta keping. Suatu jumlah yang luar biasa pada tahun tersebut.

Bill n Brod menghasilkan beberapa album antara lain “Madu dan Racun” (1985), ”Singkong dan Keju” (1986), ”Kodokpun Ikut Menyanyi (1987)“  Bibir dan Hati”(1988) dan “Hampa” (1989). Memasuki tahun 90-an, mungkin karena selera musik yang mulai berubah, maka grup ini mulai vakum.

Tak hanya Bill n Brod, lagu-lagu jenaka juga diramaikan oleh PMR. PMR yang merupakan singkatan dari Penghantar Minum Racun adalah kelompok musik komedi yang beraliran dangdut. Mereka terdiri dari Jhonny Iskandar (vokalis), Boedi Padukone (gitar), Yuri Mahippal (mandolin), Imma Maranaan (bass), Ajie Cetti Bahadur Syah (perkusi), Harri "Muke Kapur" (mini drum). Selain dikenal karena suka memparodikan lagu-lagu populer saat itu, hitsnya yang fenomenal Judul-Judulan sempat dicekal oleh pemerintah karena lagunya dinilai berbau porno.

Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks (atau OM PSP) adalah grup musik dangdut humor asal Indonesia yang popular pada paruh awal dekade 80an. Grup musik ini serin tampil bersama-sama dengan Warkop sering memelesetkan lagu-lagu dangdut popular tahun 1960-an dan 1970-an. OM PSP merupakan pelopor dangdut humor.

Tak hanya group atau penyanyi pria saja, para penyanyi wanita juga tak ketinggalan menyemarakkan lagu-lagu jenaka tersebut. Simak pula judul-judul lagu norak dan jenaka yang pernah populer tahun 1980-an seperti Berdiri Bulu Romaku (Hetty Koes Endang), Amit-Amit Jabang Bayi (Ade Putra), Cintaku Sampai ke Ethiopia (Ria Resty Fauzi), Mariam Soto (Jamal Mirdad).
Dia tidak hanya terkenal di dalam negeri, tapi bahkan musisi luar negeri. Pernah promotor ingin menduetkan Rhoma Irama dengan Rolling Stone. Namun niat itu tidak terlaksana, mengingat posisi Rhoma yang saat itu berseberangan dengan pemerintah. Rhoma Irama mempunyai kemampuan dalam menghipnotis massa.

Rhoma Irama juga pernah pernah tampil di Kuala Lumpur, Singapura, dan Brunei dengan jumlah penonton yang hampir sama ketika ia tampil di Indonesia. Meski banyak yang menyebut musik Rhoma adalah musik dangdut, namun lebih suka bila musiknya disebut sebagai irama Melayu.

Tahun 70-an, Rhoma mencanangkan semboyan "Voice of Moslem" bertujuan menjadi agen pembaru musik Melayu yang memadukan unsur musik rock dalam musik Melayu serta melakukan improvisasi atas aransemen, syair, lirik, kostum, dan penampilan di atas panggung. Lagu Rhoma mewakili semua suasana ada nuansa agama, cinta remaja, cinta kepada orang tua, kepada bangsa, kritik sosial, dan lain-lain.

Rhoma  tampil di dunia film, hampir semua film Rhoma selalu laku. Bahkan sebelum sebuah film selesai diproses, orang sudah membelinya. Satria Bergitar, film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400 juta. Hasil film tersebut antara lain disumbangkan untuk masjid, yatim piatu, kegiatan remaja, dan perbaikan kampung.

Rhoma juga terlibat dalam dunia politik. Masa awal Orde Baru, ia menjadi magnet bagi PPP, sehingga menjadi musuh bagi pemerintah Soeharto dan karya-karyanya sempat dicekal, tidak boleh tampil di TVRI. Dan ketika di awal 90-an dia memutuskan untuk hijrah ke Partai Golkar, banyak penggemar yang menyayangkan hal itu.

Terlahir dengan nama Raden Irama pada 11 Desember 1946, terlepas dari segala kontroversinya, terutama keterlibatannya dengan sejumlah wanita, tapi dia adalah tokoh besar Indonesia.
Lihatlah mereka yang berada di dalam ruangan itu. Mereka yang duduk rapi, berseragam dan mendengarkan seseorang yang, dia berbicara berapi-api, tentang akhlak dan moral, tentang baik dan buruk, tentang nasionalisme dan setumpuk tebal buku berada di depannya. Sementara orang-orang yang mendengarkan sesekali bertanya, atau membuat catatan kecil tentang sesuatu dan ini itu. Mereka tidak boleh bosan sebab hari masih panjang. Sebab mereka sedang mengikuti Penataran P4.

Sampai di akhir pemerintahan Orde Baru, setiap kali penerimaan siswa baru, dari SD sampai perguruan tinggi, apalagi bagi calon pegawai negeri, ada menu wajib yang harus dilalui. Yaitu penataran P4. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam TAP MPR No.II/1978. Ada penataran P4 pola 10 jam sampai 100 jam. Jadwalnya ketat, berlangsung selama 15 hari sejak jam 8 pagi hingga 6 petang. Sekali absen, sudah dianggap gugur dan harus mulai dari awal. Lupa tidak membubuhkan tandatangan dalam buku absen pun, meski orangnya hadir, akan mendapat teguran tertulis.

Materi penataran ini paling tidak merupakan penyampaian pengetahuan mengenai P4, UUD 45 dan GBHN. Juga kebijakan pemerintahan. Atau keberhasilan pembangunan pemerintahan Orde Baru dan bahaya laten komunisme di Indonesia. Atau sudahkah peserta penataran menghafalkan menghafalkan 36 butir Pancasila sekaligus mengamalkannya.

Menurut pemerintah penataran P4 bisa disebut sebagai semacam ‘opstib mental’, semacam persuasi. Sistim demokrasi selalu mengenal persuasion dan coercion, bujukan dan paksaan, yang merupakan dua sayap dari satu ide. Dan penataran P4 inilah merupakan persuasionnya. Dan setelah ditatar, orang jadi lebih tahu tentang Pancasila sudah sesuai dengan Pancasila atau belum selama tindakannya.

Penataran P4 baru bisa disebut berhasil bila setelah ditatar, tingkah-laku peserta sehari-hari sudah satu dalam kata dan perbuatan. Juga membentuk manusia Indonesia yang Pancasilais. Apa itu manusia Pancasilais? Pancasilais itu setidaknya beriktikad baik, disiplin, sadar memperbaiki nasib rakyat. Pokoknya republikein. Juga penataran P4 bisa mendidik ‘menghormati pendapat orang lain, berusaha mengerti tanpa melukai hati. Dan sabar.’

Jika sudah mengikuti Penataran P4 apalagi menyandang predikat ‘manggala’, kesempurnaan hidup sebagai warga negara yang hidup di bumi Pancasila tercapai. Dan, itu berarti pula tiket untuk menduduki jabatan "basah" di instansi pemerintah. Tak soal apakah sudah mengamalkan butir-butir Pancasila atau belum dalam hidupnya.

Tahun 1980 adalah masa keemasan Presiden Soeharto penguasa Orde Baru yang memimpin Indonesia selama 32 tahun. Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – wafat di Jakarta, 27 Januari 2008 dalam umur 86 tahun.

Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Di tahun 1949 dia berpangkat Letnan Jendral , Soeharto memimpin pasukan TNI melancarkan serangan menguasai kota Yogya selama 6 jam dalam Serangan Umum 1 Maret. Tahun 1965 setelah meletus Gerakan 30 September, dengan bekal Supersemar, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya.

Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968 setelah dalam Sidang Istimewa MPR menolak pertanggungjawaban Soekarno. Melalui mesin politiknya yakni Golkar, ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Atas nama stabilitas politik, Soeharto memerintah dengan tangan besi. Atas nama pembangunan, orang-orang yang berseberangan dengannya dia berangus. Demikian pula pihak-pihak yang berpotensi menjadi lawan politiknya dia bonsai. Dia juga menempatkan keluarga dan kroni-kroninya di semua lembaga strategis mulai dari jajaran menteri hingga anggota MPR, sehingga praktis seluruh pemerintahan di bawah kendalinya.

Hingga kini banyak tragedi dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa pemerintahannya belum terpecahkan seperti Peristiwa Tanjungpriok, penembakan misterius, Peristiwa Lampung, maupun insiden Santa Cruz.

Meski demikian, harus diakui masa-masa pemerintahannya juga mencatat sejumlah prestasi. Dia berhasil membenahi perekonomian warisan Orde Lama untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sehingga sempat Indonesia bersama sejumlah negara berkembang dijuluki sebagai Macan Asia. Dia juga berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin di Indonesia, memberantas buta huruf melalui wajib belajar, memerbaiki gizi masyarakat melalui program Upaya Perbaikan Gizi Keluarga. Soeharto juga memperoleh penghargaan dari FAO setelah Indonesia mencapai swasembada beras. Di kancah percaturan internasional Soeharto juga disegani melalui perannya di Gerakan Non-Blok maupun perannya sebagai mediator di berbagai konflik-konflik bersenjata.

Pada tahun 1998, sebagai dampak dari krisis ekonomi global yang juga melanda Indonesia masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Soeharto kemudian digantikan oleh B.J. Habibie.

Soeharto menikah dengan Siti Hartinah dan dikaruniai enam anak, yaitu Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Hingga akhir hayatnya, Soeharto tetap mewariskan sejumlah kontroversi, termasuk di manakah rakyat Indonesia akan menempatkan dirinya. Sebagai pahlawan yang telah membawa Indonesia mencapai kemajuan, ataukah sebagai penjahat karena keterlibatannya atas sejumlah kasus berdarah, hingga dia yang membawa Indonesia berkubang dalam hutang.

Konon dalam belantika komik Indonesia di tahun 70–80-an dikenal tiga komikus besar yang karyanya akan tetap dikenal sepanjang masa. Mereka adalah Hans Jaladara dengan master piece-nya Panji Tengkorak yang disebut-sebut oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma sebagai ‘bukanlah sebuah komik silat melainkan sebuah drama cinta yang tragis’. Lalu ada Ganes Th dengan Si Buta dari Gua Hantu yang terus melegenda.

Yang terakhir adalah Jan Mintaraga. Berbeda dengan rekan-rekannya yang banyak bercerita tentang rimba persilatan, Jan Mintaraga mencoba melawan arus dengan bercerita tentang roman metropolitan, orang menyebutnya komik-komik roman Jakarta. Tentang kehidupan anak-anak orang kaya dengan segala problema cintanya.

Karya-karya Jan begitu berpengaruh berkat karakter tokoh-tokohnya yang kuat. Dia selalu menampilkan tookohnya dengan karakter rambut gondrong, acuh dan agak sinis. Celananya jin belel sepatu kets. Rokok terselip di bibirnya dan menggelantung jaket di pundak. Pada tokoh gadisnya goresan Jan Mintaraga selalu digambarkan dengan bentuk mata indah dan besar. Sedangan dandanan rambutnya sangat anggun. Jan juga mengerjakan detail-detail kecil pada latar belakang, seperti pada bangunan, interior sebuah ruangan, tirai, baju kotak-kotak dengan cara yang menonjol. Juga mulai penggunaan tinta putih untuk memberikan efek-efek tertentu.

Jan Mintaraga ahir di Yogyakarta pada 1942. Jan yang pernah kuliah di Asri Jogya, jurusan interior (1962) dan ITB Bandung, belajar di bawah bimbingan komikus R.A. Kosasih dan Ardisoma. Ia dianggap sebagai komikus yang agak kebarat-baratan, terutama karena gayanya sangat dipengaruhi komikus Amerika. Hal itu dapat dilihat dari penampilan para karakter, sangat tak lazim bagi anak-anak Indonesia, tapi sangat sering kita jumpai pada produk visual dari Amerika atau Eropa ketika itu. Mengenai hal ini Jan sendiri mengakui sendiri bahwa komik-komiknnya banyak terispirasi dari lagu-lagu Bob Dylan. Di antaranya, ada komik yang mengambil judul dari terjemahan sebuah lagu terkenal Bob Dylan, Blowing in The Wind. Komik itu, Tertiup Bersama Angin (1967), karya Jan Mintaraga.

Jan Mintaraga yang mempunyai nama asli Suwalbiyanto memulai dengan "Cinde Laras!" (Arya Guna), serta "Rajawali Menuntut Balas", yang masih berbau tokoh-tokoh Amerika. Jan mulai menarik minat pembacanya dengan "Sebuah Noda Hitam" (1968). Segera disusul dengan "Rhapsodi Dalam Sendu". Tapi tokoh ciptaannya yang terkenal, Rio Purbaya, dalam Sebuah Noda Hitam, yang laris pada awal 1970-an. Untuk Jakarta saja, menurut penerbitnya, terjual 20 ribu eksemplar dan menjadi box office. Bahkan saking populernya tokoh Rio, Roy Marten aktor terpopuler pada saat itu mengaku terilhami tokoh Rio setelah melahap habis komik itu. Roy bahkan sampai berpenampilan sama dengan Rio, kemeja kotak-kotak biru dan celana jeans belel.

Pada 1970-an, Jan termasuk salah satu komikus dengan bayaran termahal. Sebagai gambaran untuk komik setebal ‘hanya’ 48 halaman, honor yang diterima Jan adalah Rp 200 ribu. Tapi itu adalah tahun 1970-an, di mana harga emas waktu itu Rp 250 per gram, jadi bisa dibayangkan betapa jayanya kehidupan komikus yang sukses di zamannya. Selain dikenal karena komik-komik romannya Jan juga sempat membuat beberapa komik laga seperti Indra Bayu, Runtuhnya Pualam Putih, Kelelawar, Puri Iblis, Runtuhnya Puri Iblis, Misteri Tertangkap Jin, Macan Putih, dan Sepasang Gelang Mustika.

Tapi dua butir peluru segera bersarang di tubuhnya. Satu di dada dan satu di kepala. Tubuhnya lalu tumbang dan dibiarkan tergeletak di pinggir jalan. Esok hari, bisik-bisik beredar di masyarakat. Dia adalah Robert preman yang selama ini ditakuti, sampah masyarakat, bromocorah!

Mungkin nasib Bathi Mulyono masih lebih baik. Begitu mendengar dirinya ikut menjadi target, dia segera melarikan diri hingga ke sejumlah negara luar negeri seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Meninggalkan istri dan anaknya yang baru lahir. Namun, Bathi dan anaknya yang kini berusia 25 tahun, Lita, telah bertemu kembali.

Tahun 1980-an. Ketika itu, ratusan residivis, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah, mati ditembak. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus", penembak misterius. Tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.

Kala itu, para pria bertato disergap ketakutan karena muncul desas-desus, petrus mengincar lelaki bertato. Peristiwa penculikan dan penembakan terhadap mereka yang diduga sebagai gali, preman, atau residivis itu, belakangan, diakui Presiden Soeharto, sebagai inisiatif dan atas perintahnya. "Ini sebagai shock therapy," kata Soeharto dalam biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Mayat-mayat itu ketika masih hidup dianggap sebagai penjahat, preman, bromocorah, para gali, dan kaum kecu yang dalam sejarah memang selalu dipinggirkan, walau secara taktis juga sering dimanfaatkan. Pada saat penembak misterius merajalela, para cendekiawan, politisi, dan pakar hukum angkat bicara. Intinya, mereka menuding bahwa hukuman tanpa pengadilan adalah kesalahan serius. Meski begitu, menurut Soeharto, “Dia tidak mengerti masalah yang sebenarnya.” Mungkin tidak terlalu keliru untuk menafsir bahwa yang dimaksud Soeharto sebagai orang yang mengerti masalah sebenarnya adalah dirinya sendiri.

Sayang, petrus hanya berlaku untuk preman kelas teri, mereka yang merampok karena lapar. Sayang, petrus tidak berlaku untuk preman berdasi, mereka yang mencuri karena mereka rakus...
Previous PostPostingan Lama Beranda